MANUSIA MENURUT AL-QUR’AN SUATU TINJAUAN TEMATIK
MANUSIA MENURUT AL-QUR’AN
SUATU TINJAUAN TEMATIK
Konsep Al-Insaniah Suatu Tinjauan Quaranik
Upaya untuk menyingkap hakikat manusia secara utuh telah banyak menyita perhatian baik kalangan ilmuan filosof bahkan para agamawan sepanjang masa. Pendefinisian ini dipandang perlu untuk membantu manusia mengenal dirinya serta mampu menentukan bentuk aktivitas yang dapat mengantarkannya pada makna kebahagiaan yang sesungguhnya namun upaya tersebut gagal. Manusia hanya mampu menyingkap hakikat dirinya pada batas instrumen dan bukan pada substansi. Sulitnya mengingkap substansi manusia bahkan disadari oleh Alexis carrel. Carrel menyebut manusia sebagai makhluk misterius dan uniknya tak mampu ditelusuri secara keseluruhan. Ketidak mampuan manusia dalam menelusuri substansi dirinya secara utuh, disebabkan karena keterbatasan pengetahuan manusia tentang dirinya, terutama dalam menyingkap hal-hal rohaniah yang bersifat abstrak. Keterbatasan ini menurut Quraish Shihab disebabkan tiga faktor, yaitu pertama dalam sejarah kehidupannya, manusia lebih tertarik melakukan penyelidikan tentang alam materi (konkrit) dibandingkan pada material yang bersifat immaterial (abstrak). Kedua keterbatasam akal manusia yang hanya mampu memikirkan hal-hal yang bersifat instrumental ketimbang hal-hal yang substansial dan kompleks. Ketiga kompleks dan uniknya masalah manusia.
Istilah manusia dalam al-qur’an
Setidaknya ada tiga kta yang digunakan untuk mewujudkan makna manusia yaitu Al-basar, al-insan, dan al-naf, meskiupn ketiga kata tersebutmenunjuk pada makna manusia namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat pula di uraikan sebagai berikut:
Kata al-basyar dinyatakan dalam al-qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat, secara etimologi, al-basyar berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut, penanaman ini menunjukkan makna bahwa secara biologis yang mendominasi manusia adalah pada kulitnya, dibandingkan rambut bulunya. pada aspek ini terlihat perbedaan umum biologis manusia dengan hewan yang lebih di dominasi bulu atau rambut. Firman Allah dalam Q.S. 18 : 110)
“Katakanlah sesunguhnya aku (Muhammad) hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku………. (Q.S. 18 : 110).
Dengan pemaknaan yang diperkuat umat diatas dapat dipahami bahwa seluruh manusia (Bumi adam 4-5) akan mengalami proses reproduksi seksual dan senantiasa berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan biologisnya, memerlukan ruang dan waktu, serta tunduk terhadap hukum alamiahnya. baik yang berupa sunnahtullah (sosial-kemasyarakatan) maupun takdir allah (hukum alam).
Kata al-ihsan yang berasal dari kata al-uns dinyatakan dalam al-qur’an sebanyak 73 kali dan tersebear dalam 43 surat. secara etimologi al-ihsan digunakan al-qura’n untuk menunjukkan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Perpaduan antara aspek fisik dan psikis telah membantu manusia untuk mengembangkan dimensi al-ihsan yaitu sebagai makhluk berbudaya yangmampu berbicara mengetahui baik dan buruk, mengembangkan ilmu pengetahuan yang mampu berbicara mengetahui baik dan buruknya, mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban dan lain sebagainya, Allah berfirman :
“Ayahnya berkata : hai anakku, janganlah kamu ceritakan impianmu itu kepada sandara-saudaramu, maka mereka membuat makan (untuk membinasakanmu) sesungguhnya syaitan itu adalahmusuh yang nyata bagi manusia:. (Q.S. 12 : 5).
Kata al-nas dinyatakan dalam al-qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat, kata al-nas menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk sosial secara keseluruhan tanpa melihat status keimanan atau kekafirannya. dalam menunjukkan makna manusia, kata al-nas lebih bersifat umum bila dibandingkan dengan kata al-insan. seperti dalam firman Allah’ pada Q.S. 2 : 24.
“Maka jika kamu tidak dapat membuatnya dan pasti kamu tidak akan dapat membuanya, peliharalah dirimu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir (Q.S. 2 : 24).
Proses dan Tujuan Penciptaan Manusia
Pada hakikatnya penciptaan manusia dapat ditujukan dari dua asala pendekatan yaitu pertama proses penciptaan manusia pasca Adam (keturunan Adam) tercipta dari Nutfah dan kemudian mengalami proses panjang dan bertahap dalam hal ini allah SWT berfirman :
“Yang membuat segala sesuatu yang dia kemudian sebaik-baiknya dan yang memulai penciptann manusia dari tanah. Kemudian dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang bina (air mani) kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan kedalam (tubuhnya) roh (ciptaan-nya) dan dia menjadikan bagi kalian pendengaran. penglihatan dan hati tetapi kalian sedikit sekali yang bersyukur (Q.S. 32 : 7-4).
Analisis leteran dari ayat diatas menunjukkan bahwa penciptaan manusia mengandung bagian atau komponen dan proses yaitu adanya penciptaan, adanya bahan (materi) cara atau metode penciptaan, transformasi dan model khusus dari hasil akhir tahapan proses kejadian manusia sebagaimana isyarat yang telah dilukiskan dalam al-qur’an dapat dilihat kepada beberapa proses antara lain : pertama, nutfah yaitu sati pati makanan yang telah berubah menjadi air mani yang masuk kedalam rahim. Hal ini dinukilkan allah dalam al-qur’an.
“Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (kedalam rahim). (Q.S. 75 : 37).
“Kedua sperma dalam rahim bercampur dengan ovum (gen sel produksi wanita kemudian terjadi pembuahan sel dalam rahim yang kemudian berproses menjadi segumpal darah.” dalam ayat lain allah juga berfirman
“kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu alllah menciptakannya dan menyempurnakannya (Q.S. 75 : 38).
ketika berproses menjadi segumpal daging untuk kemudian diciptakannya tulang belulang (kerangka manusia) yang dibalut dengan daging selama 40 har. fase-fase tersebut meliputi : Setelah terjadinya pembuahan antara sel sperma dan ovum dalam rahim berproses menjadi nutfah selama 40 hari, kemudian menjadi alaqah selama 40 hari dan kemudian menjadi mudlghah selama 40 hari, untuk kemudian ditiupkannya roh serta perlenkgpan manusia lainnya.
Keempat diciptakannya ruh dalam tubuh ciptaannya serta menetapkan ilmu, rezeki, ajal dan celaka-bahagia manusia pada tahap proses Allah berfirman :
“Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan kedalam tubuhnya juga roh (ciptaannya dan dia menkadi bagikamu pendengaran, penglihatan dan hati tetapi kamu sedikit sekali bersyukur (Q.S. 32 : 9).
Dari penjelasan diatas tergambarlah bahwa penciptaan manusia dalam proses alami (sunnatullah) terdiri dari 2 aspek pokok yairu aspek material dan aspek immaterial.
aspek material adalah jasmaniah (jasad) yaitu jisim manusia tubuh badan abu ishak menjelaskan
DEFINISI CINTA, MAKNA DAN HAKIKATNYA
DEFINISI CINTA, MAKNA DAN HAKIKATNYA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekspresi cinta dapat termasuk cinta kepada 'jiwa' atau pikiran, cinta hukum dan organisasi, cinta badan, cinta alam, cinta makanan, cinta uang, cinta belajar, cinta kuasa, cinta keterkenalan, dll. Cinta kasih yang sudah ada perlu selalu dijaga agar dapat dipertahankan keindahannya.
Dalam perjalanan hidup manusia, tidak akan pernah lepas dari yang namanya cinta. Cinta akan selalu ada dalam suatu dimensi yang namanya manusia. Manusia dicipta dengan penuh cinta, dan tanpa cinta manusia tak akan lahir. Manusia diciptakan di jagad bumi mengembangan cinta dari tuhan sebagai khalifah di muka bumi.
Cinta adalah anugerah Allah, ia ada dalam diri setiap manusia, karena itu ia bersifat universal. Ia berkaitan dengan aspek terdalam pada diri manusia, karena itu akal kita tidak akan pernah mampu memahami hakikatnya dengan kata lain, cinta hanya untuk dirasakan bukan untuk dipikirkan. Sulit juga untuk dipungkiri bahwa cinta adalah salah satu kebutuhan hidup manusia yang cukup fundamental.
Manusia adalah mahluk ciptaan Allah yang paling sempurna diantara mahluk lainnya. Mereka diciptakan dengan disertai akal pikiran dan hawa nafsu mereka juga terlahir dalam keadaan fitrah di alas muka bumi ini. Allah juga telah menciptakan manusia secara berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan. Diantara keduanya, Allah memberikan hati yang begitu indah, dipenuhi oleh cinta dan kasih sayang. Manusia juga ada dan terlahir ke dunia ini karena adanya cinta. Manusia sebagai khalifah di bumi mendapatkan amanat sebagai rasa cinta Allah padanya agar mereka menjadi mahluk sosial yang memiliki cinta kasih terhadap sesama.
Rumusan Masalah
Rumusan Masalahnya adalah :
Apa Definisi Cinta, Makna dan Hakikatnya ?
Bagaimana Cinta Kasih Kepada Sesama Manusia ?
Apa Kasih Sayang ?
Apakah Cinta Yang Hakiki ?
Tujuan
Untuk Definisi Cinta, Makna dan Hakikatnya.
Untuk Cinta Kasih Kepada Sesama Manusia.
Untuk Kasih Sayang.
Untuk Cinta Yang Hakiki.
Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah :
Agar bisa merasa dan merasakan perasaan orang lain dengan cinta kasih.
Sebagai tambahan pembendaharaan karya tulis ilmiah atau sebagai input yang sangat penting tentang temuan ilmiah dan koleksi perpustakaan yang dapat dijadikan referensi pengajaran dan perbandingan.
Memberikan kontribusi pemikiran dalam upaya peningkatan metode pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yang sebenarnya dan dalam mencetak insan kamil dengan segala keterbatasan yang mereka miliki.
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi Cinta, Makna dan Hakikatnya
Cinta juga bisa berasal dari obsesi untuk mendapatkan sesuatu. Tapi itu bukan cinta, ia hanyalah alat untuk mendapatkan objek itu. Kata ”Cinta” mempunyai makna yang universal. Setiap insan mempunyai tanggapan sendiri tentang arti cinta. Dan setiap insan juga punya cara sendiri untuk mencintai.
Apa arti cinta itu sebenarnya? Cinta adalah sebuah ungkapan rasa sayang dan simpati kita kepada seseorang. Kata cinta juga diberikan dari kita kepada Sang Pencipta, sebagai tanda kalau kita amat membutuhkan dan menyanjungnya. Rasa cinta yang kita berikan menunjukkan bahwasanya kita sangat menyukainya dan ingin bersamanya. Kecemburuan sering terjadi jika seseorang yang kita cintai bersama oranglain. Itulah cinta, satu nama seribu makna
Cinta adalah sebuah perasaan yang ingin membagi bersama atau sebuah perasaan afeksi terhadap seseorang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut.
Cinta Kasih Kepada Sesama Manusia
Cinta kepada sesama adalah perasaan simpati yang melibatkan emosi yang mendalam Menurut Erich Fromm, ada empat syarat untuk mewujudkan cinta kasih, yaitu:
1. Knowledge (pengenalan)
2. Responsibilty (tanggung jawab)
3. Care (perhatian)
4. Respect (saling menghormati)
Cinta berada di seluruh semua kebudayaan manusia. Oleh karena perbedaan kebudayaan ini, maka pendefinisian dari cinta pun sulit ditetapkan..
Para pakar telah mendefinisikan dan memilah-milah istilah ini yang pengertiannya sangat rumit. Antara lain mereka membedakan cinta terhadap sesama manusia dan yang terkait dengannya menkadi:
1. Cinta terhadap keluarga
2. Cinta terhadap teman-teman, atau philia
3. Cinta yang romantis atau juga disebut asmara
4. Cinta yang hanya merupakan hawa nafsu atau cinta eros
5. Cinta sesama atau juga disebut kasih sayang atau agape
6. Cinta dirinya sendiri, yang disebut narsisme
7. Cinta akan sebuah konsep tertentu
8. Cinta akan negaranya atau patriotisme
9. Cinta akan bangsa atau nasionalisme
Cinta antar pribadi manusia menunjuk kepada cinta antara manusia mempunyai beberapa undur yang sering ada dalam cinta antar pribadi tersebut yaitu
Afeksi: menghargai orang lain
Kita sebagai mahluk ciptaan Allah, sangat membutuhkan bantuan orang lain. Manusia satu dengan lainnya merupakan mahluk social. Jika ada salah satu keluarga maupun kerabat jauh yang ditimpa musibah, kita manusai yang mempunyai cinta hendaknya mengeluarkan tangan demi membantu meringankan beban mereka selama ini, pergunakanlah cinta kita dengan sebaik-baiknya perbuatan.
Ikatan: memuaskan kebutuhan emosi dasar
Altruisme: perhatian non-egois kepada orang lain
Reciprocation: cinta yang saling menguntungkan
Commitment: keinginan untuk mengabadikan cinta
Keintiman emosional: berbagia emosi dan rasa
Kinship: ikatan keluarga
Passion: nafsu seksual
Physical intimacy: berbagi kehidupan erat satu sama lain
Self-interest: cinta yang mengharapkan imbalan pribadi
Service: keinginan untuk membantu
Kasih Sayang
Kasih sayang, dan cinta merupakan milik semua orang. Manifestasi dari kasih sayang dan cinta dapat menciptakan lingkungan yang tenteram. Karena setiap individu menyadari makna yang paling hakiki dari rasa kasih sayang dan cinta. Dengan kasih sayang kita akan selalu menghargai karya orang lain.
Dengan cinta kita selalu menjaga lingkungan yang harmonis. Lingkungan yang harmonis berarti lingkungan yang berimbang dan jauh dari perusakan. Kemesraan merupakan perwujudan kasih sayang yang mendalam. Kemesraan dapat menimbulkan daya kreativitas manusia, yang berwujud bentuk seni. Bentuk seni dapat berbentuk seni rupa, seni pahat, seni sastra, seni suara. Pemujaan merupakan perwujudan cinta manusia kepada Tuhan. Kecintaan kepada Tuhan ini oleh manusia di antaranya diwujudkan dalam bentuk-bentuk pemujaan atau yang lebih kita kenal sebagai tempat beribadah.
Menurut Mery Lutyens, bahwa kasih saying adalah factual, bukan sentimental yang mengandung emosional yang dapat ditangisi kepergiannya maupun kedatangannya. Memiliki kasih sayang berarti memiliki simpatik, ia bebas dari rasa takut, paksaan dan kewibawaan serta tindakan akal budi pada diri sendiri. Dalam kasih saying, sadar atau tidak sadar dari masing-masing pihak dituntut “tanggung jawab”, “pengorbanan”, “kejujuran”, “pengertian”, dan “keterbukaan” sehingga keduanya merupakan kesatuan yang bulat dan utuh.
Cinta Yang Hakiki
Dalam bercinta manusia tidak pernah memperhatikan keindahan dan keberadaannya. Mereka hanya menggunakan hawa nafsunya yang menggebu-gebu demi mendapatkan seseorang yang mereka sayangi.
Sebenarnya cinta sejati itu hanyalah cinta kita pada Allah, karena pusat cinta adalah rasa hormat dan sayang kita kepada-Nya. Cinta yang hakiki adalah cinta abadi yang kita berikan pada seseorang dengan tulus dan penuh rasa sayang serta mengharap ridho-Nya. Cinta hakiki tidak pernah mengenal status dan tidak memandang fisik, cinta kekal adalah cinta yang datangnya dari lubuk hati yang terdalam.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Cinta kasih adalah perasaan suka kepada seseorang yang disertai dengan belas kasih dan kemesraan. Cinta merupakan sikap dasar ideal yang memungkinkan dimensi sosial manusia menemukan bentuknya yang khas manusiawi.
Cinta atau lebih dekatnya kasih sayang adalah bagian yang tak terpisahkan dari makhluk hidup, khususnya manusia. Rasa cinta merupakan penjelmaan dari naluri saling mencintai. Cinta kepada ayah ibu, kakak, adik, kakek, nenek, teman, dan sesame manusia adalah manifestasi dari gharizah nau’. Jadi intinya, jatuh cinta adalah sesuatu yang boleh dan bersifat fitrawi.
Cinta adalah sebuah perasaan yang ingin membagi bersama atau sebuah perasaan afeksi terhadap seseorang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut.
Kritik dan Saran
Demikianlah makalah yang kami buat, dan kami sadar karena keterbatasan pada diri kami, maka kami berhadap saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Atas segala saran dan yang diberikan kepada kami selaku penyusun mengucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jauzi, Syaikh Ibn Al-Qayyim. Mengapa ada cinta. Jakarta : Abla Publisher. 2004
Mawardi, Nur Hidyati. Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar. Bandung : Pustaka Setia. 2007.
Tri Prasetya, Joko. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta : Rineka Cipta. 2004
Said, Muhammad. 101 Hadits Tentang Budi Luhur. Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1986.
Fesaphile. Manusia dan Cinta Kasih. Fesas. Blogspot.com, 28 Oktober 2008.
Wikiquote. Cinta Kasih, Wikiquote.co.id, 28 Oktober 2008
Deteksi, 2008. Pilih Teman atau Pacar. Surabaya: Jawa Pos, Edisi 05 Agustus 2008
Cinta Kasih Sesama Manusia
Cinta Kasih Sesama Manusia
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Cinta kasih atau cinta sesama manusia merupakan satu hal yang pokok dalam kehidupan kita, kata cinta itu suci dari yang suci oleh karena itu kita benar-benar menjaga yang namanya cinta baik sesama mansuia atau yang lainnya
Namun kenyataannya, pada era globalisasi ini sudah banyak terjadi masyarakat-masyarakat yang sudah tidak mengerti lagi akan makna cinta malah yang ada cuma salah pengertian. Oleh karena itu kami mencoba untuk menjelaskan makalah ini yang berjudul ”Cinta Kasih Sesama Manusia” sebagai cerminan baru kita untuk lebih mengerti.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu
Menjelaskan persahabtan yang baik
Prospek cinta dalam halal dan haram
Tujuan Masalah
Setiap pembuatan makalah pasti mempunyai sebuah tujuan dan tujuan makalah ini adalah:
Supaya lebih mengerti akan makna persahabatan
Apakah cinta halal atau haram ?
BAB II
PEMBAHASAN
Menjalin Persahabatan Yang Baik Dan Berpengaruh Baik
Seseorang dapat dipengaruhi oleh temannya. Kadang ia mengingatkan kepada allah kadang pula ia menyesatkan dari jalan-Nya. Kadang ia bagai sang pembawa minyak kasturi, kadang pula ia sebagai peniup ubupan (tukang besi). Rasulullah saw pernah bersabda, ”Seseorang itu tergantung agama temannya. Maka dari itu lihatlah oleh salah seorang diantara kalian bersama siapakah ia berteman” (H.R Abu Daud dan At-Tirmidzy, dan ia menghasankannya).
Lalu beliau mempertegas sabdanya tentang pemilihan teman ini, ”Janganlah engkau berteman kecuali dengan seorang mukmin dan janganlah ada yang sampai memakan makanmu kecuali seorang yang bertaqwa”(H,R Abu Daud dan At-Tirmidzy)
Banyak sekali pemuda yang sebelumnya berada dalam jalan yang benar dan beristiqomah, manakala datang seorang teman yang mengajaknya berbuat jahat, ia mengalami dekadensi baik dalam segi intelektual ataupun moral.
Dalam hal hubungan pacaran pun, sebenarnya itu terjadi karena pengaruh dari persahabatan pula. Teman yang akhlaknya, ia selalu menghiasai pacaran itu dan membicarakan tentang keindahan dan kenikmatannya serta memudahkan anda menjalaninya. Bahkan ia rela menjadi perantara anda dengan wanita.
Bahaya besar yang akan timbul,yaitu manakala ia mulai menunjukkan kepada anda kebiasaan yang buruk, majalah, foto, dan film yang menjerumuskan kejurang kehinaan dan kejelekan atau mengajak anda untuk melakukannya,Na’udzubillah.
Demikian pula dengan para pemudi yang sebelumnya terlihat bersih dan suci, manakala di kuasai oleh temannya, serta merta ia mempunyai gambaran, bahwa perbuatan istiqomah dalam kebersihan dan kesucian itu adalah prilaku kuno,dan ketinggalan zaman. Lalu ia memperindah hal itu dengan jalam kemaksiatan, seperti tabarruj,ikhtilath,pacaran dan sebagainya.
Oleh karena itu, saya berusaha mengingatkan anda dari persahabtan dan pergaulan semacam itu. Terkecuali anda mampu untuk mempengaruhi mereka dan bukannya anda yang di pengaruhi oleh mereka. Jika memang anda tidaka mampu,maka lebih baik dan selamat untuk menjauhi mereka.
Hendaklah anda berteman dengan orang-orang yang selalu mengingatkan anda kepada Allah dan membimbing anda kejalan yang baik dan benar, menasehati dengan tulus, menemani waktu kosong dalam hidup anda dengan hal yang bermanfaat, menolonh jiwa ketiak lemah dan menyelamatkannya ketika jatuh.
Dalam hal persahabatan ini pun, saya ingin mengingatkan anda agar mempunyai teman yang lebih dewasa dari segi umur dan pengalaman yang dapat menjadi penasehat yang dapat di percaya dan menjaga rahasia-rahasia yang di berikan kepadanya serta dapat membantu dalam memecahkan masalah dan menghadapi berbagai macam krisis. Dalam hal ini saya memberikan contoh konkrit yakni “hasan dan hosen adalah dua orang pemuda yang di didik dengan pendidikan yang baik oleh keluarganya, bagaimana tidak, mereka adalah cucu baginda rasul, putra ali bin abi tholib dan fatimah Az-Zahrah. Meskipun demikian bukan berarti mereka tidak pernah berselisih paham. Ketika merek masih kecil, telah terjadi perselisihan pendapat diantra mereka.Untuk mendamaikan keduanya, salah seorang sahabat berkata kepada Husein,“berdirilah! Temuilah kakakmu! Ia lebih tua dari pada kamu. Kamu harus mendahuluinya.” Husein berkata, “bukan saya tidak mau mengalah paman. Namun, saya pernah mendengar kakekku, rasulullah saw bersabda: apabila ada dua orang sedang dalam perdebatan. Lalu salah satu meminta ridho kepada yang lain maka ia lebih cepat masuk surga. Aku tidak ingin mendahului kakakku masuk surga”. Ucapan husein itu di sampaikan kepada hasan. Begitu mendengar adiknya tersebut, hasan segera berdiri dan berjalan menemui husein untuk meminta ridho, meminta maaf, dan meminta kepadanya atas peristiwa yang sudah berlalu.” Akhirnya mereka bisa didamaikan kembali tanpa ada kesulitan.
Cinta: Halal Atau Haram?
Saya anda harap anda telah mengetahui bagaimana pandangan agama tentang masalah hasrat dan hal yang berkaitan denganya. Namun saya ingin hal ini menjadi jelas dan terfokus, sehingga anda tidak dapat tergoda oleh godaan syetan dan bujukan hawa nafsu, terpedaya oleh orang-orang yang lalai dan merusak. Hendaklah orang-orang yang mengingkari akan dimintai pertanggung jawaban dan penghisaban itu mengetahui, bahwa mereka berada dibawah undang-undang Tuhan. Dan secara ringakas akan saya sampaikan sebagian pendapat para ulama dan fuqaha:
Salah seorang ulama dewasa ini ditanya, “apakah cinta itu halal atau haram?”, secara diplomatis ia menjawab, “cinta yang halal itu adalah halal dan cinta yang itu adalah haram. Cinta yang halal itu diantaranya adalah cinta seorang lelaki kepada istrinya atau seorang wanita kepada suaminya dan cinta seorang lelaki kepada perempuan yang ia lamar atau seorang wanita kapada lelaki yang melamarnya. Adapun cinta yang haram itu diantaranya, cinta seorang lelaki kepada wanita yang bukan istrinya ataupun seorang wanita kepada lelaki yang bukan suaminya.
Kecendrungan hati antara sepasang pemuda dan pemudi yang dilakukan tanpa ikatan maka hal itu tiada artinya karena tidak adanya suatu kelanjutan. Namun keduanya harus menjauhi hal yang dilarang dan bersabar serta menahan hawa nafsu sehingga tidak dilampiaskan pada media-media yang tidak semestinya, dan hal itu tidak menyeret anda untuk berbuat sesuatu yang dibenci dan diharamkan.
Kecendrungan hati ini akan berlanjut kearah kebebasan untuk saling memandang, berkirim surat dan sms, ngobrol, bertemu dan sebagainya. Perbuatan ini sudah jelas haram untuk dilakukan. Perbuatan haram ini akan semakin bertambah jika hal itu mulai dirasakan manisnya, seperti meraba, dan mencium atau yang lebih dari pada itu,na’udzubillah. Juga melampiaskan kepada yang haram lainya, seperti menstrubasi dan sebagainya.
Tidaklah boleh seseorang berargumen,bahwa tekanan libido sexual itu lebih dahsyat dari kekuatan yang ada padanya, dan cinta itu adalah urusan hati sedangkan hati itu ad dlam genggaman allah dan allah tidak membani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya. Sebelum mengomentari pernyataan ini, saya ingan mengibratkan hal ini dengan seoarangan pria mabuk tak sadarkan diri, berjalan di jalan. Lalu ia memecahakan sesuatu, memukul dan mencacimaki merusak dan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum. Apakah kita akan memanfaatkannya karena ia tidak sadar ataukah kita akan menuntutnya karena ia penyebab kerusakan ini yang sesuai denmgan pilihan dan keinginannya ketika ia mengambil resiko dengan meminum arak?
Demikian pula dengan anda, wahai pemuda. Anda tidak akan dihisab karena libido dan cinta, namun karena tidak dapat mengantisipasinya dan menjauhkan diri dari peringatan atau menjerumuskan diri sendiri kedalam hal yang erotis dan fitnah. Lalu anda bertanya,”saya tidak mampu melakukannya”. Patut diketahui, bahwa semua hal yang mengarah kepada hal yang diharamkan itu adalah haram.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Cinta itu fitrah, tercipta demi kemulian manusia. Cinta itu suci tercipta tercipta dari yang maha suci. Tanpa cinta tidak akan ada kehidupan. Cinta dan kehidupan ibarat gula dengan manisnya atau garam dengan asinnya yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan
Saran
Tak sedikit yang mengotori kesucian cinta demi kepuasan sesaat. Untuk itu islam mengajak manusia untuk kembali pada kesucian cinta
DAFTAR PUSTAKA
Nabil Hamid Al-Ma’az, Menjalin Cinta Yang Suci. Darut Tauzi wan nasyr al-Islamiyah, Bandung,1999
Zulkifli M.S, Seteguk Air Bagi Jiwa, Sahabat Setia, Sidowayah Klaten, 2007
Hassan hanafi dan Hermeneutika
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Hermeneutika kini telah menjadi begitu populer di Indonesia dan diajukan oleh berbagai pihak sebagai alternatif pengganti metode tafsir ‘klasik’ dalam memahamiAl-Quran.
Sejumlah nama pemikir modernis, neo-modernis, atau post-modernis –seperti Fazlur Rahman, Mohammed Arkoen, al-Jabiri, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zeid, Farid Essac, dan lainnya– kini menjadi idola baru dalam memahami al-Quran dan Sunnah Rasul. Mereka begitu populer dan dikagumi di berbagai institusi pendidikan dan ormas Islam, menggantikan tokoh-tokoh pemikir besar Islam, seperti Syafii, Maliki, Hanafi, Ahmad bin Hanbal, al-Ghazali, Ibn Taimiyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan yang lainnya. Kaum Muslimin Indonesia kini digerojok dengan ratusan –mungkin ribuan– buku, makalah, dan artikel tentang hermeneutika, dengan satu pesan yang sama: “Tinggalkan (paling tidak, kritisi!) tafsir lama.
Hermeneutika kini telah menjadi begitu populer di Indonesia dan diajukan oleh berbagai pihak sebagai alternatif pengganti metode tafsir ‘klasik’ dalam memahami Al-Quran.
B. Rumusan Masalah
Banyak faktor yang bisa dikemukakan mengenai latar belakang Hanafi yang kemudian mempengaruhi gagasan hermeneutika Al-Quran dan pemikirannya, secara umum. Namun demikian, kita bisa meringkasnya ke dalam dua karakteristik dasar: yang disadari dan, biasanya, diucapkan; dan yang tidak disadari dan tidak terkatakan
Pemikiran Hanafi adalah produk nalar dalam ruang sosial-budaya yang di dalamnya berbagai kuasa beroperasi dan saling bertarung berebut posisi dan reputasi. Pertanyaannya, apakah itu mengurangi keistimewaan pemikiran hermeneutis Hanafi?
BAB II
PEMBAHASAN
GEOGRAFI
Riwayat Hidup dan Kondisi Sosio-Kultural Mesir Hassan hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa moderen. Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hassan Hanafi.
Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948. la ditolak oleh Pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Di samping itu ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ia kecewa dan segera menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem persatuan dan perpecahan.
Sejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hanafi belajar di Universitas Cairo untuk mendalami bidang filsafat. Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena baginya Najib memiliki komitmen dan visi keislaman yang jelas. Kejadian-kejadian yang ia alami pada masa ini, terutama yang ia hadapi di kampus, membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan reformis.
Tahun-tahun berikutnya, Hanafi berkesempatan untuk belajar di Universitas Sorborne; Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966. Di sini ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya dan sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Di Perancis inilah ia dilatih untuk ber¬pikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah mau¬pun bacaan-bacaan atau karya-karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Gitton; tentang metodologi berpikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bim¬bingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari Profesor Masnion.
Maka, dari pengalaman hidup yang ia peroleh sejak masih remaja membuat ia memiliki perhatian yang begitu besar terhadap persoalan umat Islam. Karena itu, meskipun tidak secara sepenuhnya mengabdikan diri untuk sebuah pergerakan tertentu, ia pun banyak terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan pergerakan-pergerakan yang ada di Mesir. Sedangkan pengalamannya dalam bidang akademis dan intelek¬tual, baik secara formal maupun tidak, dan pertemuan¬nya dengan para pemikir besar dunia semakin mempertajam analisis dan pemikirannya sehingga mendorong hasratnya untuk terus menulis dan mengembangkan pemikiran-pemikiran baru untuk membantu menyelesaikan persoalan-persolan besar umat Islam.
HERMENEUTIKA MENURUT HASAN HANAFI
Hassan Hanafi, tokoh kita ini, bukanlah intellectual par exellence di bidang Tafsir maupun studi-studi Al-Quran. Banyak nama lain yang mestinya lebih layak dikemukakan menyangkut disiplin tersebut ketimbang membahas pemikirannya; katakanlah, Fazlur Rahman, Arkoun, Farid Esack, atau muridnya yang begitu brilian, Abû Zayd. Nama-nama belakangan ini bukan saja dikenal dengan concern-nya pada pengujian kembali khazanah pemikiran Islam (turâts) pada sang titik alpha, Al-Quran.
Tapi juga karena masing-masing mereka telah mempublikasikan karya-karya yang hingga kini menjadi kajian wajib pemerhati tafsir di Timur dan Barat. Sementara itu, Hanafi lebih dikenal sebagai seorang filsuf ketimbang hermeneut, apalagi seorang mufassir. Namun demikian, jika merujuk pada karya akademisnya di La Sorbonne, jelas bahwa semenjak awal, ia telah berminat besar pada perumusan metodologi penafsiran (cf. Ichwan 1999:33).
Pertanyaannya kemudian, what makes this guy special? Inilah yang ingin dijawab oleh keseluruhan isi “Hermeneutika Pembebasan” yang terbit akhir tahun lalu. Bukanlah hal yang mudah untuk menjawabnya, oleh karena diperlukan sejumlah kriteria yang bisa menunjukkan, secara asimptomatis, “hakikat” gagasannya tentang metodologi tafsir Al-Quran. Tulisan ini, demi menjawab pertanyaan sederhana di atas, akan membahas, pertama, latar belakang dan posisi intelektual Hanafi dalam peta hermeneutika Al-Quran kontemporer; kedua, inti gagasan hermeneutika pembebasan; dan ketiga, beberapa catatan.
KONTEKS INTELEKTUAL
Banyak faktor yang bisa dikemukakan mengenai latar belakang Hanafi yang kemudian mempengaruhi gagasan hermeneutika Al-Quran dan pemikirannya, secara umum. Namun demikian, kita bisa meringkasnya ke dalam dua karakteristik dasar: yang disadari dan, biasanya, diucapkan; dan yang tidak disadari dan tidak terkatakan
Tawaran Hanafi, dalam konteks ini, berbeda dengan ideologi yang mempromosikan pembangunan (developmentalism) yang lebih berkonotasi growth, tapi kritik pembangunan dalam pengertian populisme “transformasi”. Hanafi berbicara mengenai keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif, yang berdimensi pembebasan (taharrur, liberation). Sementara keinginan tersebut hanya dapat ditegakkan melalui gagasan keadilan sosial dan gerakan ideologis yang terorganisasi yang mengakar dalam tradisi pemikiran Islam dan kesadaran rakyat.
Sebagaimana digambarkan dalam salah satu bagian manifesto tersebut, Hassan Hanafi bermaksud menciptakan sebuah disiplin interpretasi dengan sensitivitas yang luarbiasa pada realitas dan kemanusiaan. Ia menginginkan agar Kiri Islam sanggup menghasilkan tafsir perseptif, yakni tafsir atas dasar kesadaran humanistik yang dapat berbicara tentang kemanusiaan, hubungan manusia dengan manusia lain, tugas-tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah untuk membangun sistem sosial dan politik (Hanafi 1994:104).
Kiri Islam, hermeneutika pembebasan, dan tafsir revolusioner, kemudian masuk ke dalam suatu skema besar dari proyek paling ambisius, at-Turâts wa at-Tajdîd. Dalam proyek tersebut, metodologi tafsir (al-Manâhij) mengandaikan suatu eksposisi sistematis mengenai penafsiran realitas sosial yang dapat dibaca melalui Al-Quran, atau semacam pandangan dunia Al-Quran mengenai kehidupan
Sementara itu, Abû Zayd (1992:182), mempersoalkan prosedur ilmiah pemikiran hermeneutis Hanafi, terutama ketika menafsirkan tradisi pemikiran Islam. Hanafi dianggap memberi porsi yang berlebihan bagi penafsir dan mengabaikan teks-teks keagamaan sebagai entitas yang memiliki otonomi, sistem hubungan-hubungan intern, dan konteks wacananya sendiri. Pola berpikir semacam ini memang begitu dominan dalam interaksi Hanafi dengan khazanah keilmuan Islam yang kaya. Seperti ditunjukkan lebih lanjut oleh Abû Zayd, Hanafi sering kali menerapkan eklektisisme terhadap teks-teks tradisional sepanjang mendukung proyek pemikirannya. Padahal, setiap konsep dalam tradisi tersebut senantiasa dalam hubungan yang tidak terpisahkan dengan konteksnya sendiri-sendiri yang bisa jadi kontradiktif dengan penafsiran yang dilakukan Hanafi. Sementara itu, hermeneutika Al-Quran yang bercorak filosofis berasumsi bahwa objektivitas semacam itu paling banter hanya bisa “diandaikan” secara teoretik, namun dalam kenyataannya, sangat sulit dipraktekkan. Ciri utama hermeneutika filosofis adalah pengakuan bahwa dalam kegiatan penafsiran, seorang penafsir selalu didahului oleh persepsinya terhadap teks yang disebut sebagai prapaham
BABIII
PENUTUP
KESIMPULAN
Terhadap hermeneutika metodis, Hassan Hanafi menginginkan hermeneutika pembebasan yang ia ajukan sebagai ilmu pengetahuan yang rasional, formal, objektif, dan universal. Dalam hal ini, ia mengandaikan seorang interpreter yang “memulai pekerjaannya dengan tabula rasa, tidak boleh ada yang lain, selain analisa linguistiknya,” sebuah pendirian yang mirip dengan analisa struktur internal menurut Abû Zayd.
Di lain pihak, hermeneutika pembebasan Al-Quran tersebut sarat dengan tema-tema pembebasan yang merupakan trend hermeneutika Al-Quran yang besifat filosofis sebagaimana dipaparkan sebelumnya. Apalagi dalam tulisan-tulisannya yang mutakhir, Hanafi memang menganggap “tidak ada hermeneutika per se, absolut, dan universal. Hermeneutika selalu bersifat praktis dan menjadi bagian dari perjuangan sosial” (Hanafi 1995b:184). Dalam pengertian yang terakhir ini, ia menginginkan hermeneutika pembebasannya mengeksplisitkan dan mengakui kepentingan penafsir di hadapan teks sebelum perisitiwa penafsiran dilakukan. Kecederungan ke arah praksis inilah yang lebih banyak menonjol dalam pemikiran hermeneutis Hanafi belakangan yang kemudian membedakannya dari rumusan hermeneutisnya pada tahap awal dan dari kecenderungan banyak hermeneut kontemporer lainnya
Keunikan model hermeneutika pembebasan Hanafi ini agaknya berangkat dari dasar-dasar metodologis pemikirannya yang bisa jadi tidak ia sadari. Hermeneutika pembebasan Al-Quran dibangun dari berbagai pengandaian dalam fenomenologi dan Marxism`e, dua mazhab pemikiran dengan paradigma yang bertolak belakang yang ia sintesakan ke dalam disiplin dan pendirian hermeneutika filosofis. Eksperimentasi semacam ini memang harus diakui jenial mengingat ia harus mengatasi kontradiksi teoretis dalam berbagai pemikiran yang ia pinjam dalam perumusan hermeneutika Al-Qurannya. Namun, tidak urung, ia juga menyisakan segepok masalah yang harus diselesaikan.
Lihat Luwis ‘Iwad, Dirasat fi al-Hadlarat, (Kairo: Dar al-Mustaqbal al-‘Arabiy, 1989), h. 133.
Lebih lanjut lihat, Ibid
Pengaruh-pengaruh intelektual dari tokoh-tokoh tersebut terlihat pada karya-karya awalnya. Hal ini juga diterangkan dalam, misalnya, Hassan Hanafi, Al-Din wa al-Tsaurat fi al-Mishr 1952-1981, Vol. VII, (Kairo: A1-Maktabat a1-Madbuliy, I987), h. 332
Lihat, Hassan Hanafi, Qadhaya Mu`ashirat fi`Fikrina al-Mu`ashir, (Beirut: Dar al-Tanwir li al-Thiba`at al-Nasyr, I983), cet. ke-2, h. 7
Hassan Hanafi, “Pandangan Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam,” dalam Prisma 4, April 1984, h. 39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar